Senin, 16 November 2015

OBAT PSIKOTROPIKA DAN NARKOTIKA

Obat Psikotropika dan Narkotika

A. Pengertian.

     Psikotropika adalah Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.

     Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia.



B. Penggolongan 
     1. Psikotropika
     Menurut UU No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika pasal 2 ayat (2), psikotropika digolongkan menjadi :
       a) Psikotropika golongan I : psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat, mengakibatkan sindroma ketergantungan.  Contohnya antara lain : lisergida (LSD/extasy), MDMA (Metilen Dioksi Meth Amfetamin), meskalina, psilosibina, katinona.

       b) Psikotropika golongan II : psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya antara lain : amfetamin, metamfetamin (sabu-sabu), metakualon, sekobarbital, fenmetrazin.

       c) Psikotropika golongan III : psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang, mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya antara lain  penthobarbital, amobarbital, siklobarbital, Amobarbital, Buprenorphine, Butalbital, Cathine / norpseudo-ephedrine, Cyclobarbital.

       d) Psikotropika golongan IV : psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakbatkan sindroma ketergantungan. Contohnya antara lain : diazepam (frisium), allobarbital, barbital. bromazepam, klobazam, klordiazepoksida, meprobamat, nitrazepam, triazolam, alprazolam.
       2. Narkotika
       a) Golongan I : berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan. tidak digunakan untuk terapi. Contoh : heroin, kokain, Canabis sp. (ganja), morfin, dan opium.

       b) Golongan II : berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan, digunakan pada terapi sebagai pilihan terakhir. Contoh : morfin, petidin, metadon, benzetidin, dan betametadol.

        c) Gol III : berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan dan banyak digunakan dalam terapi. Contoh : kodein dan turunannya, etil morfin, asetihidrokode. 

C. LOGO


LOGO OBAT NARKOTIKA

  

Logo obat narkotika adalah seperti tanda plus warna merah dalam lingkaran warna putih dengan garis tepi warna merah.


LOGO OBAT PSIKOTROPIKA


   
     Logo obat psikotropika adalah lingkaran bulat berwarna merah dan garis tepi berwarna hitam serta huruf K yang menyentuh garis tepi.

D. CONTOH 
Obat Psikotropika
1. Diazepam

 

2. Lorazepam
 
 Obat Narkotika
1. Codein 

 2. Codipront

                                                
 

 

Senin, 02 November 2015

OBAT KERAS

Obat Keras

A. Pengertian.

     Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, berdasarkan keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor 02396/A/SKA/III/1986 

B. Penandaan

   Penandaan obat keras dengan lingkaran bulat berwarna merah dan garis tepi berwarna hitam serta huruf K yang menyentuh garis tepi.


LOGO OBAT KERAS



C. Keterangan
     Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan kematian. Obat-obat ini sama dengan narkoba yang kita kenal dapat menimbulkan ketagihan. Karena itu, obat-obat ini mulai dari pembuatannya sampai pemakaiannya diawasi dengan ketat oleh Pemerintah dan hanya boleh diserahkan oleh apotek atas resep dokter. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan pemakaiannya pada pemerintah.
  
D. Contoh      
1. Tetrasiklin
    

2. Amoxicillin
 


3. Biothicol
   

OBAT WAJIB APOTEK (OWA)


Obat Wajib Apotek (OWA)

A. Pengertian.

     OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada persayaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA.
       a) Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien (nama, 
           alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
       b) Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan kepada 
           pasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin salep saja yang termasuk OWA, dan 
           hanya boleh diberikan 1 tube.
       c) Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup: indikasi, kontra-
           indikasi, cara pemakain, cara penyimpanan dan efek samping obat yang mungkin          
           timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak dikehendaki tersebut timbul.

 B. Tujuan

     Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masayrakat, maka obat-obat yang digolongkan dalam OWA adalah obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang diderita pasien.

C. Kriteria Obat

     Sesuai Permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan:
         - Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia   

            2tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
         - Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan 

            penyakit.
         - Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh 

            tenaga kesehatan.
         - Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
         - Obat dimaksud memiliki khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan

            untuk pengobatan sendiri.

D. Contoh
1. Obat KB Hormonal
         

2. Aminofilin